Senja turun pelan-pelan di Jalan Braga. Warna langit berubah dari jingga lembut menjadi oranye keemasan, menyapu atap-atap tua yang berjejer seperti saksi bisu sejarah. Aku berdiri di salah satu sudut trotoar, memandang ke arah deretan bangunan kolonial yang masih terjaga, seakan tak ingin kalah dengan zaman. Jalan Braga, seperti biasanya, tidak pernah sepi dari langkah kaki dan cerita.
Ada sesuatu yang magis saat senja bertemu dengan Braga. Lampu-lampu mulai
menyala, memantul di jendela kaca kafe-kafe tua, menciptakan siluet kenangan.
Braga bukan sekadar jalan, ia adalah lorong waktu. Aku suka menyebutnya begitu.
Setiap batu di trotoarnya menyimpan suara tawa, patah hati, pertemuan, dan
perpisahan.
Sore itu, aku datang sendirian. Tanpa janji dengan siapa pun. Hanya
membawa diri dan pikiran yang butuh tenang. Duduk di bangku kayu dekat toko
buku kecil, aku memesan kopi dari warung dekat sana. Aroma kopi dan asap rokok
samar-samar menyatu dalam udara sore. Di kejauhan, terdengar senar gitar dari
pengamen jalanan, menyanyikan lagu lawas yang entah kenapa terdengar sangat
pas.
Aku menoleh ke seberang jalan. Seorang nenek dengan pakaian rapi dan topi
kecil berjalan perlahan, ditemani cucunya. Ada pasangan muda yang tampak
malu-malu berjalan berdampingan. Dan aku? Aku hanya menatap semua ini, mencoba
menulis ulang perasaan yang tak bisa dibahasakan.
Ada yang bilang, Braga adalah tempat paling romantis di Bandung saat senja
datang. Aku mengiyakan, tapi tidak sepenuhnya karena cinta antar sepasang
kekasih. Romantis yang kumaksud lebih pada perasaan damai saat kita berdamai
dengan diri sendiri, di tengah kota yang penuh cerita ini.
Braga adalah tempat yang bisa membuatmu mengenang dan mengikhlaskan pada
saat bersamaan. Tempat di mana aku pernah berjalan sambil menggenggam tangan
seseorang yang kini hanya tinggal nama. Tapi anehnya, tidak ada sesal. Hanya
syukur karena pernah punya cerita. Senja di Braga mengajarkan bahwa tak semua
kehilangan harus ditangisi.
Pelan-pelan, langit meredup. Lampu jalan menyala. Braga menjadi lebih
syahdu. Dan aku masih di sana, sendiri namun tidak kesepian.
Karena senja, Braga, dan aku - kami saling mengerti.
Mungkin besok aku akan datang lagi. Atau mungkin tidak. Tapi hari ini,
Jalan Braga memberiku ruang untuk bernapas dan merenung. Menyadarkan bahwa
dalam hidup, kita hanya perlu sesekali berhenti, menatap langit senja, dan
tersenyum atas segala yang telah dilalui.
Kemarin, aku kembali menapaki jalanan masih dengan rinai Dejafu menghalauku
kembalikan ingatanku tentang Braga masih seperti dulu. Meski tidak menapakinya
bersamamu, tidak juga terperangkap dalam sendiriku seperti saat itu. Kemarin aku
kembali bersama sahabat terbaikku. Terima kasih kalian sudah ada membersamaiku
selama ini.
Braga, 06 April 2025
No comments:
Post a Comment