Pusat Informasi dan Publikasi Mata Pelajaran Informatika MAN 3 Majalengka - Lilis Juwita, S.Kom

Thursday, April 10, 2025

BRAIN ROT

Ketika Otak Kita Terlalu Lama di Dunia Maya

Pernah nggak kamu merasa otakmu kayak "nge-lag" setelah seharian scroll TikTok atau nonton video absurd di YouTube tanpa henti? Atau tiba-tiba nyadar kalau kamu udah dua jam bengong sambil liatin meme-meme aneh di Twitter? Nah, selamat datang di era brain rot — istilah gaul internet yang menggambarkan kondisi ketika otak kita serasa rusak gara-gara kebanyakan konsumsi konten digital yang cepat, dangkal, dan kadang nggak masuk akal.

Istilah "brain rot" sendiri awalnya muncul dari komunitas online sebagai cara lucu (tapi menyindir) untuk menggambarkan efek samping dari budaya internet yang terlalu cepat dan penuh distraksi. Tapi makin ke sini, banyak orang mulai menyadari bahwa brain rot bukan cuma candaan—ini bisa jadi refleksi dari kondisi mental dan pola pikir kita yang berubah karena kebiasaan digital.

Brain Rot
Dampak media sosial pada otak

Konsumsi Media Digital yang Berlebihan

Di era serba cepat ini, kita disuguhi konten dalam jumlah yang absurd — dari video 15 detik yang bikin ngakak sampai thread konspirasi 30 halaman yang entah kenapa menarik banget buat dibaca tengah malam. Otak kita nggak lagi mencerna informasi secara dalam, tapi lebih sering “disuapin” potongan-potongan konten yang sekilas menarik tapi gampang lupa. Inilah awal dari brain rot.

Fenomena ini bukan cuma soal hiburan. Kita jadi terbiasa dengan gratifikasi instan—dopamin cepat dari notifikasi, scroll tak berujung, dan konten yang selalu ada setiap detik. Lama-lama, kita kehilangan kemampuan untuk fokus dalam jangka panjang, membaca teks panjang jadi melelahkan, dan bahkan merasa gelisah kalau nggak pegang HP selama beberapa menit.

Saking terbiasanya, otak kita kayak dimanjain terus-menerus sama hal-hal cepat dan ringan. Tapi di balik itu, ada konsekuensi: penurunan konsentrasi, kesulitan menyelesaikan tugas, dan kecenderungan buat menghindari hal-hal yang butuh effort. Brain rot bukan lagi efek samping, tapi bisa jadi default mode kita sehari-hari.

Brain Rot dan Kesehatan Mental

Meskipun istilah brain rot terdengar kocak dan jadi bahan meme, dampaknya ke kesehatan mental nggak bisa diremehkan. Banyak dari kita nggak sadar bahwa rasa cemas yang muncul tiba-tiba, overthinking, atau bahkan rasa hampa setelah scrolling media sosial bisa jadi gejala dari kebiasaan digital yang nggak sehat.

Konten yang terlalu cepat dan dangkal bikin otak kita terbiasa dengan stimulasi konstan. Akibatnya, ketika nggak ada stimulasi, kita merasa bosan secara ekstrem—padahal bosan itu hal yang normal. Kita jadi gampang gelisah, sulit tidur, dan dalam beberapa kasus, muncul gejala mirip ADHD: susah fokus, impulsif, dan kesulitan menyelesaikan tugas panjang.

Parahnya lagi, budaya membandingkan diri di media sosial bikin kita makin rentan merasa nggak cukup—nggak cukup produktif, nggak cukup menarik, atau nggak cukup “berhasil”. Di sinilah brain rot berpotensi memperburuk kondisi mental yang sudah rapuh.

Dan yang paling bahaya: kita sering nggak sadar sedang mengalaminya. Karena semuanya dibungkus dalam bentuk hiburan, kita pikir itu cara "refreshing", padahal bisa jadi itu justru yang bikin kita makin lelah secara mental.

Budaya Meme dan Konten Absurd

Di tengah semua kebisingan digital, muncul satu fenomena yang nggak bisa dihindari: meme-meme absurd. Mulai dari video editan yang nggak masuk akal, suara aneh yang jadi tren TikTok, sampai gambar-gambar random dengan caption yang bikin mikir, “Kenapa ini lucu, sih?” Inilah bagian dari budaya internet modern yang jadi penanda era brain rot.

Tapi anehnya, justru di balik absurditas itulah ada daya tarik tersendiri. Konten absurd seringkali jadi bentuk pelarian dari kenyataan yang berat, dan dalam beberapa kasus, jadi ekspresi kreativitas generasi digital yang udah kebal sama informasi berlebihan. Ada yang bilang, ini tanda kita makin "pinter" dalam memahami ironi dan sarkasme. Tapi di sisi lain, ini juga bisa jadi sinyal bahwa otak kita udah terlalu jenuh, sampai-sampai cuma hal-hal aneh yang bisa bikin kita tertawa atau merasa terhibur.

Budaya ini kayak dua sisi koin. Di satu sisi, dia menyatukan banyak orang lewat selera humor yang absurd dan post-ironic. Tapi di sisi lain, dia juga bisa memperkuat pola konsumsi cepat, dangkal, dan kadang nggak sehat. Semakin kita terbiasa dengan yang aneh dan instan, semakin sulit bagi otak untuk menikmati hal yang butuh fokus dan kedalaman.

Mengatasi atau Mengelola Brain Rot

Kabar baiknya: brain rot bukan vonis akhir buat otak kita. Walaupun udah terbiasa dengan konsumsi konten serba cepat dan impulsif, otak manusia punya kemampuan luar biasa untuk beradaptasi dan pulih — asalkan kita kasih ruang buat itu terjadi.

·       Detoks Digital (Digital Detox)

Kadang, solusi paling sederhana adalah: berhenti sebentar. Coba sehari tanpa media sosial, atau setidaknya batasi waktu screen time dengan sadar. Rasanya pasti aneh di awal—kayak kehilangan sesuatu—tapi setelah beberapa saat, kita mulai ngerasa lebih “ringan” dan tenang.

·       Kurasi Konten Secara Aktif

Bukan berarti harus menghindari internet sepenuhnya. Tapi coba lebih selektif: follow akun yang bermanfaat, unfollow yang toxic, mute keyword yang nggak sehat buat mental, dan pilih platform yang lebih sehat interaksinya. Otak kita juga butuh “asupan bergizi” dari dunia digital.

·       Latih Fokus Secara Bertahap

Baca buku fisik, tulis jurnal, atau kerjakan sesuatu tanpa multitasking. Latihan kecil seperti ini bisa bantu otak buat kembali terbiasa dengan aktivitas yang lebih dalam dan panjang. Bahkan 15 menit tanpa gangguan udah jadi kemajuan besar kalau kamu terbiasa dengan scroll tak berujung.

·       Sadari Pola, Bukan Sekadar Menghindar

Yang penting bukan cuma “menjauhi” media digital, tapi menyadari kenapa kita mencarinya. Apakah karena stres? Bosan? Kesepian? Dengan memahami pemicunya, kita jadi lebih sadar dan punya kontrol terhadap kebiasaan kita sendiri.

Di tengah derasnya arus informasi dan budaya digital yang serba cepat, brain rot mungkin terasa seperti hal biasa—bahkan jadi bahan candaan harian. Tapi kalau kita jujur sama diri sendiri, kadang ada momen di mana kita ngerasa kosong, capek tanpa alasan jelas, dan otak kayak "nggak nyambung" sama dunia nyata. Itu bukan hal sepele.

Bukan berarti kita harus sepenuhnya lepas dari internet atau berhenti nikmatin meme absurd. Dunia digital juga banyak kasih hal baik: hiburan, edukasi, koneksi sosial. Tapi semua itu butuh keseimbangan. Otak kita, seperti halnya tubuh, butuh istirahat, butuh makanan bergizi, dan butuh tantangan yang membangun—bukan sekadar distraksi yang tak berujung.

Jadi, mungkin sekarang saat yang tepat buat nanya ke diri sendiri: “Apa aku benar-benar menikmati waktuku online, atau cuma numpang lewat di arus konten yang nggak pernah berhenti?”

Karena kadang, langkah kecil buat sadar adalah awal dari otak yang waras kembali.

Data Pendukung

1. Peningkatan Penggunaan Istilah "Brain Rot"
Menurut Oxford University Press, penggunaan istilah "brain rot" meningkat sebesar 230% antara tahun 2023 dan 2024, mencerminkan kekhawatiran yang berkembang tentang dampak konsumsi konten digital berkualitas rendah terhadap kesehatan mental.

2. Dampak pada Struktur Otak 
Studi dari Harvard Medical School dan King's College London menemukan bahwa kecanduan media sosial dapat mengurangi materi abu-abu di otak, memperpendek rentang perhatian, melemahkan memori, dan mengganggu fungsi kognitif inti.

3. Efek pada Kesehatan Mental
Konsumsi berlebihan konten digital dangkal dikaitkan dengan peningkatan kecemasan, stres, dan depresi. Studi menunjukkan bahwa paparan terus-menerus terhadap konten negatif secara online dapat mengganggu respons stres, meningkatkan kadar kortisol, dan menyebabkan gangguan tidur.

No comments:

Post a Comment