Ketika Otak Kita Terlalu
Lama di Dunia Maya
Pernah
nggak kamu merasa otakmu kayak "nge-lag" setelah seharian scroll
TikTok atau nonton video absurd di YouTube tanpa henti? Atau tiba-tiba nyadar
kalau kamu udah dua jam bengong sambil liatin meme-meme aneh di Twitter? Nah,
selamat datang di era brain rot — istilah gaul internet yang
menggambarkan kondisi ketika otak kita serasa rusak gara-gara kebanyakan
konsumsi konten digital yang cepat, dangkal, dan kadang nggak masuk akal.
Istilah
"brain rot" sendiri awalnya muncul dari komunitas online sebagai cara
lucu (tapi menyindir) untuk menggambarkan efek samping dari budaya internet
yang terlalu cepat dan penuh distraksi. Tapi makin ke sini, banyak orang mulai
menyadari bahwa brain rot bukan cuma candaan—ini bisa jadi refleksi dari
kondisi mental dan pola pikir kita yang berubah karena kebiasaan digital.
 |
Dampak media sosial pada otak |
Konsumsi Media Digital yang Berlebihan
Di era serba cepat ini, kita disuguhi konten dalam
jumlah yang absurd — dari video 15 detik yang bikin ngakak sampai thread
konspirasi 30 halaman yang entah kenapa menarik banget buat dibaca tengah
malam. Otak kita nggak lagi mencerna
informasi secara dalam, tapi lebih sering “disuapin” potongan-potongan konten
yang sekilas menarik tapi gampang lupa. Inilah awal dari brain rot.
Fenomena
ini bukan cuma soal hiburan. Kita jadi terbiasa dengan gratifikasi
instan—dopamin cepat dari notifikasi, scroll tak berujung, dan konten yang
selalu ada setiap detik. Lama-lama, kita kehilangan kemampuan untuk fokus dalam
jangka panjang, membaca teks panjang jadi melelahkan, dan bahkan merasa gelisah
kalau nggak pegang HP selama beberapa menit.
Saking
terbiasanya, otak kita kayak dimanjain terus-menerus sama hal-hal cepat dan
ringan. Tapi di balik itu, ada konsekuensi: penurunan konsentrasi, kesulitan
menyelesaikan tugas, dan kecenderungan buat menghindari hal-hal yang butuh
effort. Brain rot bukan lagi efek samping, tapi bisa jadi default mode
kita sehari-hari.
Brain Rot dan Kesehatan
Mental
Meskipun
istilah brain rot terdengar kocak dan jadi bahan meme, dampaknya ke
kesehatan mental nggak bisa diremehkan. Banyak dari kita nggak sadar bahwa rasa
cemas yang muncul tiba-tiba, overthinking, atau bahkan rasa hampa setelah
scrolling media sosial bisa jadi gejala dari kebiasaan digital yang nggak
sehat.
Konten yang
terlalu cepat dan dangkal bikin otak kita terbiasa dengan stimulasi konstan.
Akibatnya, ketika nggak ada stimulasi, kita merasa bosan secara ekstrem—padahal
bosan itu hal yang normal. Kita jadi gampang gelisah, sulit tidur, dan dalam
beberapa kasus, muncul gejala mirip ADHD: susah fokus, impulsif, dan kesulitan
menyelesaikan tugas panjang.
Parahnya
lagi, budaya membandingkan diri di media sosial bikin kita makin rentan merasa
nggak cukup—nggak cukup produktif, nggak cukup menarik, atau nggak cukup
“berhasil”. Di sinilah brain rot berpotensi memperburuk kondisi mental
yang sudah rapuh.
Dan yang
paling bahaya: kita sering nggak sadar sedang mengalaminya. Karena semuanya
dibungkus dalam bentuk hiburan, kita pikir itu cara "refreshing",
padahal bisa jadi itu justru yang bikin kita makin lelah secara mental.
Budaya Meme dan Konten Absurd
Di tengah semua kebisingan digital, muncul satu
fenomena yang nggak bisa dihindari: meme-meme absurd. Mulai dari video editan
yang nggak masuk akal, suara aneh yang jadi tren TikTok, sampai gambar-gambar
random dengan caption yang bikin mikir, “Kenapa ini lucu, sih?” Inilah bagian dari budaya internet modern yang
jadi penanda era brain rot.
Tapi
anehnya, justru di balik absurditas itulah ada daya tarik tersendiri. Konten absurd seringkali jadi bentuk
pelarian dari kenyataan yang berat, dan dalam beberapa kasus, jadi ekspresi
kreativitas generasi digital yang udah kebal sama informasi berlebihan. Ada
yang bilang, ini tanda kita makin "pinter" dalam memahami ironi dan
sarkasme. Tapi di sisi lain, ini juga bisa jadi sinyal bahwa otak kita udah
terlalu jenuh, sampai-sampai cuma hal-hal aneh yang bisa bikin kita tertawa
atau merasa terhibur.
Budaya ini
kayak dua sisi koin. Di satu sisi, dia menyatukan banyak orang lewat selera
humor yang absurd dan post-ironic. Tapi di sisi lain, dia juga bisa memperkuat
pola konsumsi cepat, dangkal, dan kadang nggak sehat. Semakin kita terbiasa
dengan yang aneh dan instan, semakin sulit bagi otak untuk menikmati hal yang
butuh fokus dan kedalaman.
Mengatasi atau Mengelola
Brain Rot
Kabar
baiknya: brain rot bukan vonis akhir buat otak kita. Walaupun udah
terbiasa dengan konsumsi konten serba cepat dan impulsif, otak manusia punya
kemampuan luar biasa untuk beradaptasi dan pulih — asalkan kita kasih ruang
buat itu terjadi.
· Detoks Digital (Digital Detox)
Kadang, solusi
paling sederhana adalah: berhenti sebentar. Coba sehari tanpa media sosial,
atau setidaknya batasi waktu screen time dengan sadar. Rasanya pasti aneh di
awal—kayak kehilangan sesuatu—tapi setelah beberapa saat, kita mulai ngerasa
lebih “ringan” dan tenang.
· Kurasi Konten Secara Aktif
Bukan berarti
harus menghindari internet sepenuhnya. Tapi coba lebih selektif: follow akun
yang bermanfaat, unfollow yang toxic, mute keyword yang nggak sehat buat
mental, dan pilih platform yang lebih sehat interaksinya. Otak kita juga butuh
“asupan bergizi” dari dunia digital.
·
Latih
Fokus Secara Bertahap
Baca buku fisik,
tulis jurnal, atau kerjakan sesuatu tanpa multitasking. Latihan kecil seperti
ini bisa bantu otak buat kembali terbiasa dengan aktivitas yang lebih dalam dan
panjang. Bahkan 15 menit tanpa gangguan udah jadi kemajuan besar kalau kamu terbiasa
dengan scroll tak berujung.
· Sadari Pola, Bukan Sekadar Menghindar
Yang penting bukan
cuma “menjauhi” media digital, tapi menyadari kenapa kita mencarinya. Apakah
karena stres? Bosan? Kesepian? Dengan memahami pemicunya, kita jadi lebih sadar
dan punya kontrol terhadap kebiasaan kita sendiri.
Di tengah derasnya arus informasi dan budaya digital
yang serba cepat, brain rot mungkin terasa seperti hal biasa—bahkan jadi
bahan candaan harian. Tapi kalau kita jujur sama diri sendiri, kadang ada momen
di mana kita ngerasa kosong, capek tanpa alasan jelas, dan otak kayak
"nggak nyambung" sama dunia nyata. Itu bukan hal sepele.
Bukan
berarti kita harus sepenuhnya lepas dari internet atau berhenti nikmatin meme
absurd. Dunia digital juga banyak kasih hal baik: hiburan, edukasi, koneksi
sosial. Tapi semua itu butuh keseimbangan. Otak kita, seperti halnya tubuh,
butuh istirahat, butuh makanan bergizi, dan butuh tantangan yang
membangun—bukan sekadar distraksi yang tak berujung.
Jadi,
mungkin sekarang saat yang tepat buat nanya ke diri sendiri: “Apa aku
benar-benar menikmati waktuku online, atau cuma numpang lewat di arus konten
yang nggak pernah berhenti?”
Karena kadang, langkah kecil
buat sadar adalah awal dari otak yang waras kembali.
Data
Pendukung
1. Peningkatan Penggunaan Istilah "Brain
Rot"
Menurut Oxford University Press, penggunaan istilah "brain
rot" meningkat sebesar 230% antara tahun 2023 dan 2024, mencerminkan
kekhawatiran yang berkembang tentang dampak konsumsi konten digital berkualitas
rendah terhadap kesehatan mental.
2. Dampak pada Struktur Otak
Studi dari
Harvard Medical School dan King's College London menemukan bahwa kecanduan media sosial dapat mengurangi materi abu-abu di otak, memperpendek rentang
perhatian, melemahkan memori, dan mengganggu fungsi kognitif inti.
3. Efek
pada Kesehatan Mental
Konsumsi berlebihan konten digital dangkal dikaitkan dengan peningkatan
kecemasan, stres, dan depresi. Studi menunjukkan bahwa paparan terus-menerus
terhadap konten negatif secara online dapat mengganggu respons stres,
meningkatkan kadar kortisol, dan menyebabkan gangguan tidur.